Jumat, 25 Maret 2011

Aliran subyektivis


Aliran subyektivis adalah aliran hermeneutika yang lebih menekankan pada peran pembaca atau penafsir dalam menentukan makna teks atau obyek-obyek penafsir lainnya. Pada dasarnya, di dalam aliran subyektivis ini terdapat banyak aliran-aliran kecil, yakni strukturalisme, pasca strukturalisme (post structuralism), reader response criticism dan dekonstruksi). Definisi dan cara kerja pasca strukturalisme (strukturalisme plus semiotika).
Apabila kita mengkaji secara mendalam strukturalisme, semiotika, dan semiologi seolah olah ada kesamaan dan overleaping makna. Strukturalisme dan semiotika banyak digunakan di kajian sastra (literary studies) dan memiliki konsep-konsep dan premis-premis yang sama. Hal ini dapat diketahui dari sejarah munculnya disiplin-disiplin ilmu tersebut. Ferdinan de saussure, pendiri linguistik strukturalis, mengatakan bahwa kita bisa saling memahami hanya karena kita sepakat dengan arti dari kombinasi-kombinasi suara (kata dan kalimat). Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa kita mengerti sesuatu hanya ketika kita dapat membedakannya dari sesuatu yang lain. Jadi, arti kata itu dipahami apabila perbedaannya dengan arti kata lain dapat ditangkap dan dipersepsikan.[1]
Dia juga berpendapat bahwa pengguna bahasa dapat menciptakan sejumlah tak terbatas ungkapan yang berbeda-beda (parole), namun semua ungkapan ini mengikuti aturan sistem bahasa (langue). Selain itu, masih terkait dengan pemaknaan kata, dia membedakan antara relasi sintagmatik dan paradigmatik. Secara sintagmatik, makna kata bisa ditentukan oleh kata lain yang berada sebelum dan sesudahnya. Sedangkan, secara paradigmatik sebuah makna kata lebih dapat dipahami dengan membandingkannya dengan kata-kata yang menjadi sinonim, antonim dan ungkapan-ungkapan alternatifnya.
Saussure juga mengembangkan pendekatan sinkronik dalam penelian bahasa dan pendekatan diakronik. Konsepnya juga sangat terkenal adalah bahwa setiap kata, yang disebutnya dengan istilah signifier (penanda), mesti merujuk kepada wujud tertentu (thing), yang disebutnya dengan istilah (signifieid) petanda. Setelah memahami bahasa sebagai proses pemaknaan, di mana signifier dan signified selalu terkait dan tidak terpisahkan, saussure melihat ada kemungkinan melakukan penelitian dan kajian sistem simbol yang berbeda-beda di masyarakat, seperti ritual keagamaan. Karena itu, dia kemudian memunculkan istilah semiology yang merujuk pada ilmu tentang simbol-simbol yang membahas ‘hakekat’ simbol dan hukum yang mengaturnya.
·         Contoh ayat mengenai teori simbol sebagai berikut:
Al-Qur’an surat al-Ghasiyyah.
أَفَلا يَنْظُرُونَ إِلَى الإبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ
Ayat di atas menggambarkan tentang teori simbol dan contoh mengingat al-Qur’an tidak pernah menyebutkan sesuatu secara sepesifik. Kalau kita analisa berarti Allah secara tidal langsung sangat menghargai peran akal dalam memahami teks. Ayat di atas menggunakan simbol unta, langit, dan gunung. Ayat tersebut ditutup dengan isyarat dari Allah bahwa kita disuruh untuk memberi peringatan, artinya hanya manusia yang mempunyai kapabilitas otak secara maksimal. Serta mendalami ilmu pengetahuan Alam dan Biologi dan perangkat ilmu lainnya.



Allah berfirman dalam surat al-Baqarah: 35.
وَقُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Allah juga berfirman dalam surat al-A’raf: 19.
وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Kedua ayat tersebut memiliki substansi yang sama yaitu larangan oleh Allah kepada Adam dan Hawak supaya tidak mendekati sebuah pohon (quldi). Pemaknaa tersebut saya kira cukup sulit diterima untuk konteks sekarang. Apabila tidak menggunakan paradigma secara global dan membumi. Saya mencoba mengambil magza (signifikansi) dari ayat tersebut yaitu ummat manusia dilarang menebang pohon secara liar (illegal logging), artinya konsep cinta terhadap alam menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Logikanya mendekati saja tidak boleh apalagi sampai menebang secara brutal. Lebih jelasnya ayat tersebut diulang dua kali dengan substansi yang sama, itu menunjukkan Allah sangat tegas kepada manusia supaya merawat Alam (pohon) dengan baik.
Konsep-konsep dasar Saussure tersebut di atas ternyata banyak mempengaruhi disiplin-disiplin ilmu lain, seperti antropologi. Claude Levi-Strauss, misalnya, membangun disiplin antropologi struktural dari konsep relasional makna kata Suassure. Dengan diilhami oleh konsep tersebut, Levi Strauss melakukan penelitian terhadap mitos-mitos dan menemukan kemiripan strukturalisme antarmitos yang ditelitinya itu.  
Formalisme Rusia yang dielaborasi oleh Vladimir Propp dalam bukunya ,Morphology of the Folktale, dan oleh Victor Shklovsky dengan konsep defamiliarisasi juga dipengaruhi oleh pemikiran Saussure. Propp mencoba memilah komponen inti yang terdapat di cerita rakyat dengan cara mengidentifikasi keberagaman fungsi narasi yang dilakukan tokoh dalam cerita dengan cara menemukan kemiripan dari cerita yang tampak berbeda tersebut. Analisis semacam ini tampaknya terinspirasi oleh pemilahan Saussure antara parole dan langue. Adapun konsep defamiliarisasi Shklovsky dijiwai oleh analisis strukturalis dan semiotik Saussure yang mencoba menguak makna realita yang lebih mendalam, atau second level of meaning. Defamiliarisasi yang dimaksud oleh Shklocsky adalah upaya memahami dunia yang familiar dengan kaca mata atau outside the box pemikiran terbaru.
Analisis strukturalis dan semiotik terhadap teks, seni dan realita manusia (individu dan sosial) bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang obyek yang dikaji. Dalam pengkajian terhadap hermeneutika kita perlu mengetahui makna yang terdalam secara lebih mendalam secara kompatibel dan akurat. Dalam proses penafsiran, seorang strukturalis membrek down teks misalnya dalam kisah tertentu ke dalam unit-unit naratif dasar yang disebut aktan-aktan. Kode-kode dalam teks kemudian dianalisis dengan memperhatikan misalnya, fenomena kontradiktif, seperti iman-kufur, kebenaran-kejahatan, penghukuman-penyelamatan dll. Dari pesan yang utama itu dipahami secara mendalam untuk diaplikasikan pada konteks sekarang. Makna terdalam dalam kajian teks tersebut mampu terkuak, sehingga jargon al-Qur’an shalih li kulli zaman wa makan mampu untuk kita implementasikan secara maksimal.
 Terkait dengan pemahaman dan pemaknaan tadi, para strukturalis dan semiotika mengkritik kajian Bibel, yang lebih menekankan pada kajian historis semata, dari pada terhadap kajian genre dan perkembangan plot teks. Menurut mereka, kajian historis tidak dapat menjembatani antara makna teks dan signifikansi. Mereka juga tidak tertarik pada “pesan permukaan” sebuah teks, melainkan pada kode-kode yang menggaris bawahi dari pesan yang tersembunyi di balik pesan permukaan.
Untuk memahami makna tersembunyi itu, seorang penafsir harus menerapkan hukum-hukum universal tehadap simbol hukum yang tertutup, yang terdapat pada kajian teks. Menurut mereka, sistem berfikir manusia membentuk pemikiran melalui sistem simbol tertutup yang tersusun menurut pola-pola universal dalam otak. Pola universal ini menjembatani kultur yang berbeda dan pada dasarnya malah memperkaya pandangan dunia seseorang.
A.    KESIMPULAN.
Dalam memahami teks al-Qur’an ternyata teori tentang strukturalis dan semiotika ternyata sangat penting dan dibutuhkan. Teks bisa terkuak maknanya secara mendalam apabila perangkat yang digunakan merupakan gabungan dari ilmu modern dan klasik. Konsepsi manusia modern seharusnya selalu obyektif terhadap ilmu, meskipun itu datang dari Barat maupun Timur. Dalam pembahan hermeneutika ini tentu tidak hanya berhenti di sini saja, tetapi teori lain masih banyak yang belum penulis paparkan.
Teori semiotika harus dipahami secara komprehensif sehingga tidak menimbulkan kerancuan ketika menginterpretasikan teks. Begitu juga dengan teori strukturalisme, harus dipahami secara runtut sistematis, sehingga mampu bersinergi dengan teori semiotika, mengingat teori semiotika, semantik, dan strukturalis memiliki hubungan yang sangat urgens. Demikian makalah saya semoga bermanfaat bagi para akademisi, dan semoga penelitian ini tidak berhenti di sini.



[1] Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Pesantern Nawesea Press, 2009), hlm. 65.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar