Jumat, 25 Maret 2011

Biografi Buya Hamka




Pluralitas adalah realitas kehidupan manusia, lebih-lebih pada era global saat ini. Oleh karena itu, tidak ada seorang atau sekelompok masyarakat yang bisa menghindari keadaan zaman seperti ini. Sebaliknya justru fenomena seperti ini bisa disikapi sebagai sunna tullah, dan kita melakukan pendekatan dan pemaknaan terhadapnya. Salah satunya adalah wujud dari pluralitas adalah, pluralitas agama yang akan menjadi tantangan tersendiri yang akan dihadapi oleh orang-orang dewasa ini.
Dalam pergumulan tentang persoalan pluralisme agama, khususnya di Indonesia, Hamka merupakan seorang man of thought (pemikir) dan man of action (pelaku aktif) sekaligus. Melalui karya monumentalnya, tafsir al-Azhar, dan buku-buku tulisan lainnya, Hamka telah menunjukkan pergumulannya secara serius dengan persoalan ini pada tataran pemikiran, dan bertitik tolak pada sumber pokok yaitu al-Qur’an dan sunnah. Tentu dalam makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu saya mengharapkan saran dan kritik dari saudara yang bersifat membangun.










A.    PEMBAHASAN
1.      Biografi Singkat.
Buya Hamka lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi Hamka. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayah kami, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.[1]
Hamka (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah(tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga Darjah Dua. Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumo.


Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padangpanjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.[2]
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.[3] Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjoparonoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui pertubuhan Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.[4] Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia. Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 apabila beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang kemaraan kembali penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerila di dalam hutan di Medan.
Pada tahun 1947, Hamka dilantik sebagai ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun1966, Hamka telah dipenjarakan oleh Presiden Sukarno kerana dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mula menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka dilantik sebagai ahli Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majlis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an lagi, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelaran Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno daripada pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
2.      Konsep Pluralisme dalam Tafsir
Secara etimologis kedua kata pluralitas dan pluralisme sama-sama memiliki dasar kata ‘plural’ dan masing-masing merupakan terjemahan dari dua kata dalam bahasa Inggris , ‘plurality’ dan ‘pluralism’. Kata ‘plurality’ artinya; kondisi beragam atau majemuk. Adapun pengertian pluralism memiliki dua arti[5]; pertama keberadaan kelompok yang berbeda dari segi asal jenis, pola budaya, agama, dll dalam suatu masyarakat dan negara. Kedua, kebijakan yang mendukung perlindungan terhadap kelompok-kelompok tersebut dalam masyarakat dan negara.
Dari tinjauan etimologis tersebut, arti kata pluralitas sama dengan arti pluralisme yang pertama, yaitu sama-sama merujuk kepada realitas kemajemukan itu sendiri. Sedangkan arti yang kedua kata pluralisme memihak atau mendukung realitas tersebut. Untuk menghindari anomalitas pemaknaan, maka dalam tulisan ini makna pluralisme hanya dibatasi dengan arti yang kedua.
Ketika dikaitkan dengan kata agama, maka kedua kata tersebut memiliki aksentuasi dan referensi makna yang berbeda. Konsep pluralitas agama menekankan pada realitas keragaman agama dan hubungan antar pemeluk agama. Sedangkan pluralisme agama merupakan pandangan yang merujuk dan menekankan sekaligus mendukung realitas keragaman agama. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwasannya konsep pluralitas agama merujuk kepada adanya realitas keragaman agama, serta adanya hubungan antaragama yang kompleks. Sedangkan konsep pluralisme agama merujuk kepada sikap atau teori yang positif mendukung realitas keragaman agama dan saling hubungan.




[1] Rusydi, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), cet. II, h. 5
[2] Harold Coward, Pluralisme Tantangan bagi Agama-Agama, penerj. Bosco Carvallo (Yogyakarta: Kanisius, 1996), cet. IV, h. 167-168.
[3] Hasan Zaini, Corak Pemikiran....(1995),h. 262.
[4]  Ibid., h. 15
[5]               Victoria Neufeldt, Webster’s New World College Dictionary (New York: Macmilan, 1995), h. 1040

Tidak ada komentar:

Posting Komentar