Sabtu, 05 Maret 2011

Wa turja'ul ahkamu lillyaqini falaa yaziilus sakku lillyaqini


وترجع الأحكام لليقين فلا يزيل الشكُ لليقين
Wa turja'ul ahkamu lillyaqini falaa yaziilus sakku lillyaqini
Dan dikembalikan hukum itu kepada yang diyakini dan keraguan  tidaklah membatalkan keyakinan itu. Dalam bentuk yang lain dikatakan : الاصل بقاء ما كان على ما كان   al aslu baqoo u maa kaana 'alaa maa kaana artinya : asal sesuatu perkara  dihukumi asalnya, dikatakan dalam Mulaqos Qowaidul Fiqhiyyahnya As-Syeikh Sholeh Al-utsaimin dalam qaidah ke 15  الرجوع للأصل عند الشك (ruju'u lil asli 'indas shak)  dikembalikan hukum sesuatu pada asalnya jika timbul keraguan didalamnya.
 Misalnya: jika seseorang yakin dalam keadaan suci, kemudian timbul keraguan apakah batal atau belum, maka di kembalikan pada asalnya, yaitu suci , karena dia yaqin sebelumnya dalam kedaan suci.
Misal lainnya; jika seseorang sholat dhuhur dan sudah selesai (sudah salam) dan selang beberapa saat kemudian timbul keraguan apakah sholatnya sudah sempurna (4 rakaat) atau kurang, maka dikembalikan asalnya bahwasannya sholatnya sudah sempurna.

قول المؤلف هنا: "وترجع الأحكام لليقين" معناها: أن الشريعة عوّلت في أحكامها على اليقين. ويراد باليقين في لغة العرب: زوال الشك. وقال بعض الأصوليين: إن اليقين في اللغة مأخوذ من الاستقرار، يقال: يقن الماء بمعنى استقر. واليقين في الاصطلاح: طمأنينة القلب، واستقرار العلم فيه .
Perkataan mualif (Syeikh Abdur Rahman As-Sa'diy ) : "وترجع الأحكام لليقين" dikembalikan hukum sesuatu pada keyakinan artinya: sesunggunya syariat itu diletakkan dan disandarkan  hukum-hukumnya diatas keyakinan, sedang makna yakin dalam bahasa arab adalah :
زوال الشك / zawaalus shak hilangnya keraguan, dan berkata sebagain ulama' usul: sesungguhnya kata yakin dalam bahasa diambil dari kata: الاستقرار tenang/tetap  dan diam, jika dikatakan: yaqonal ma'u artinya air tenang/diam, sedang yakin dalam tinjauan syar'ii adalah:  
: طمأنينة القلب، واستقرار العلم فيه tumakninatul qolbi was tiqroorul ilmi fiihi, ketentraman dan ketenagan   hati dan ketetapan  ilmu didalamnya,

والشك في اللغة يراد به: التداخل؛ وذلك لأن الشاك يتداخل عنده أمران، لا يستطيع الترجيح بينهما. والشك في الاصطلاح: تجويز أمرين فما زاد، ولا مزية لأحدها على سائرها. فيَرِد عنده احتمالان أو أكثر، ولا يتمكن من الترجيح بين تلك الاحتمالات .
Sedang makna shak (ragu) dalam tinjaun bahasa adalah: at tadaakhul :saling masuk / kemasukan, disebut demikian karena keraguan jika masuk didalam hati timbul dua pilihan, yang menyebabkan tidak bisa mengambil salah satu yang benar diantara keduanya, sedang maknanya secara istilahi adalah: membolehkan dua perkara atau lebih, yang tidak bisa menimbang salah satu dari semua pilihan, maka menimbulkan dua pilihan/ keputusan atau lebih yang tidak munkin mengambil salah satu yang benar diantara pilihan-pilihan  tersebut.

وقول المؤلف هنا: "وترجع الأحكام لليقين" يعني: أن الشريعة عولت في أحكامها على اليقين، وليس مراد المؤلف هنا: عدم إعمال الظن الغالب؛ لأن الشريعة جاءت بإعمال الظن الغالب في عدد من المسائل، ويدل على ذلك: قول الله -جل وعلا-: { فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ } (- سورة البقرة آية : 230) فعول بالحكم على الظن، والمراد به: الاحتمال الراجح .
Adapun ucapan mualif disini : "وترجع الأحكام لليقين" dikembalikan hukum kepada keyakinan:  maknanya bahwasanya syari'at itu diletakkan hukum-hukumnya diatas dasar keyakinan, dan bukanlah maksud mualif disini, tidak digunakannya persangkaan yang kuat, karena syari'at kadang mengunakan persangkaan yang kuat di beberapa masalah, sebagaimana firmanya  dalam QS : Al-Baqoroh : 230 sbb:
“Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya ber-PRASANGKA ( berpendapat )akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.”
Maka dalam ayat ini dibangun hukumnya diatas dasar prasangka yang kuat.  maknanya: kemunkinan saja benar.

ومثله قول النبي - صلى الله عليه وسلم - " لا أظن أن فلانا وفلانا يعرفان من ديننا شيئا " كما في الصحيح، فعول على حكم الظن. وهذا مذهب جماهير أهل العلم، أن الظن الغالب يُعمل به مطلقا.
Dan misalnya juga sabda Rasulullah r: aku tidak mengira bahwasanya fulan dan fulan mengetahui sedikitpun tentang agama kita. Sebagaimana dalam kitab shohih, maka disini disandarkan hukum pada persangkaan (yang kuat) dan ini adalah madhab jumhur ahlul ilmi, yaitu persangkaan yang kuat kadang di gunakan secara mutlaq.

ومراد المؤلف بقوله: "فلا يزيل الشك لليقين": أن الشك إذا ورد على الإنسان، وكان عنده يقين وقطع سابق، فإنه لا يلتفت إلى الشك. بل المعول عليه اليقين السابق .
Adapun maksud dari : : "فلا يزيل الشك لليقين""keraguan tidak menghilangkan keyakinan”, maknanya: sesunggunya keraguan jika timbul pada hati manusia sedang sebelumnya ada keyakinan dalam hatinya dan keraguan memutuskan keyakinan yang ada sebelumnya, maka janganlah menghiraukan keraguan tersebut, akan tetapi dikembalikan hukumnya pada keyakinan yang ada sebelumnya.
 ودليل القاعدة: عدد من النصوص الشرعية، منها قوله - عز وجل - { وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا } (سورة يونس آية : 36) وقوله: { إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الحق شَيْئًا (28) } (سورة النجم آية : 28) .
Adapun dalil dari qaidah adalah beberapa nash syar'iyyah diantaranya :
Dari alqur'an
{ وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا } (سورة يونس آية : 36)
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran ( QS Yunus : 36 )
Serta firmanNya :
 { إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الحق شَيْئًا (28) } (سورة النجم آية : 28)
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.” (QS An-Najm : 28)
Dari hadist

وجاء في الصحيحين ، من حديث عبد الله بن زيد - رضي الله عنه - أنه " شُكي للنبي - صلى الله عليه وسلم - الرجل يجد الشيء في الصلاة؟ فقال النبي - صلى الله عليه وسلم - لا ينصرف حتى يجد ريحا، أو يسمع صوتا. "
Dan di riwayatkan dalam kitab Shohihain  (Bukahri dan Muslim): dari hadistnya Abdullah bin Zaid t, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah r bahwasanya dia mendapati sesuatu didalam sholatnya: maka Rasulullah r bersabda: janganlah kamu berpaling (membatalkan sholatnya) sampai mendapati bau (kentut) atau mendengar suara (kentut) (HR Bukhari kitab wudhu bab: orang yang tidak berwudhu karena keraguan yang asalnya yakin, hadist no :137, 173 kitabul Buyu' ( jual beli ) bab;  Tidak Memperdulikankan Rasa  Was-Was dan Subhat serta Semisalnya no :2056  dan Muslim kitab Haid  hadist no ; 361,362 )
وجاء في الصحيح أيضا أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال: " إذا شك أحدكم في صلاته، فلم يدر هل صلى ثلاثا أو أربعا؟ فليطرح الشك، وليبن على اليقين " .
Dan diriwayatkan juga dalam kitab shohih sesungguhnya Nabi r bersabda: jika salah seorang dari kalian ragu dalam sholatnya, dan dia tidak tahu sudah dapat tiga roka'at atau empat roka'at ,maka tinggalkan keraguan dan memilih yang yaqin dan pasti.

إذا تقرر ذلك، فإن هذه القاعدة قاعدة مهمة، وتدخل في جميع أبواب الفقه، بل إن هناك عددا من القواعد الفقهية مرتبة على هذه القاعدة. وقد ذكر المؤلف عددا من القواعد المنبنية على هذه القاعدة بعدها مباشرة،
Jika sudah jelas dan menetapkan dalam hal tersebut maka sesunguhnya kaidah ini adalah kaidah yang sangat penting dan masuk didalam semua pembahasan bab-bab fiqh, bahkan ada beberapa kaidah-kaidah yang sangat berhububgan erat dengan kaidah ini dan mualif menyebutkan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan kaidah ini berikutnya ( akan datang kaidah tersebut beserta penjelasnya, misal: hukum asal air, tanah adalah suci, hukum asal sesuatu adalah mubah (halal) hukum dalam ibadah adalah haram / dilarang dsb pent.)
 والمسائل التي تندرج تحت هذه القاعدة على نوعين:النوع الأول: مسائل يُتفق على اندراجها في القاعدة، ويتفق على حكمها.مثال ذلك: من كان محْدِثا في الصباح، ثم شك بعد ذلك هل طرأت الطهارة عليه؟ كان محدثا في الصباح، وشك هل توضأ بعد ذلك؟ فاليقين الثابت في الزمان الأول أنه محدِث، فلا يلتفت إلى الطهارة المشكوك فيها.
Pembahasan  yang berhubungan dengan kaidah ini terbagi menjadi 2 macam:
1.      Masalah yang di sepakati  dan sesui dalam kaidah ini , dan disepakati juga  hukumnya
Cntohnya: seseorang yang pagi harinya dalam keadaan tidak suci dan berhadast (belum berwudhu / mandi wajib) kemudian dia ragu apakah telah bersuci (wudhu/mandi wajib) atau belum? Adalah dia berhadast pagi harinya, kemudian ragu sudah berwudhu apa belum? maka yang diyakini dan tetap serta pasti adalah permulaanya / waktu awalnya yaitu dalam keadaan berhadast maka tidak boleh mengambil keputusan bahwasanya dia sudah bersuci yang masih diragukan kebenaran dan kepastiannya.

مثال آخر: اليقين أنه لا يجوز وطء الأجنبية، فإذا شك الإنسان هل أجرى عقد النكاح عليها؟ فإن الأصل أن الأجنبية محرمة، ولا يجوز وطؤها.
Contoh lainnya: diyakini bahwasanya tidak boleh berhubungan badan (bersegama) dengan wanita bukan istrinya (ajnabi) maka jika seseorang ragu apakah dia telah menikahi wanita tersebut atau belum? maka kita kembalikan ke kaidah: yaitu hukum.
Asalnya wanita ajnabi tidak boleh di setubuhi. (maka dia tidak boleh mengambil keputusan bahwasanya boleh bersetubuh dengannya padahal sudah menikahinya atau belum masih diragukan kepastiannya pent.)
والنوع الثاني من المسائل: مسائل اتفق على اندراجها في القاعدة، واختلف في الحكم الذي تطبق عليه تلك المسألة. مثال ذلك: إذا كان الإنسان متطهرا في الصباح، ثم شك هل أحدث بعد ذلك؟ فإن الأصل أنه متطهر؛ لأن اليقين الثابت في الزمان الأول لا يزول بطروء الشك في الحدث. وهذا مذهب جمهور أهل العلم.وقال المالكية: لا، اليقين أن الصلاة واجبة في ذمة الإنسان، فلا نزيل هذا اليقين بطهارة مشكوك فيها، فلا يجوز له أن يصلي والحال هذه.
2.      Masalah yang di sepakati dan sesui dalam kaidah ini namun masih diperselisihkan hukum yang cocok bagi permasalahan tersebut,
Contohnya: jika sesorang dalam keadaan suci waktu paginya kemudian dia ragu apakah sudah batal atau belum? asalnya dia dalam keadaan suci kemudian timbul keraguan batal atau belum, maka yang benar adalah maka kita ambil kondisi yang pertama (dalam keadaan suci) kita menjauhi keputusan untuk menyatakan telah batal yang keadaanya masih diragukan kepastiannya dan ini adalah madhab jumhur ahlul ilmi (ulama'), dan berkata para pengikut madhab Imam Malik (malikiyyah): kita telah batal, karena keyakian yang pasti adalah sholat wajib bagi setiap manusia, dan keyakinan ini tidak menjadi batal dengan keadaan suci yang timbul keraguan didalamnya, maka tidak boleh sholat dalam keadaan ragu seperti ini (kita harus bersuci / wudhu lagi) wallahu a'lam.  

مثال آخر: إذا طلق الإنسان زوجته، وشك هل طلقها ثلاثا أو واحدة؟ فالجمهور يقولون: النكاح في الزمان الأول متيقن، فلا نزيله بطلاق مشكوك فيه، فنحكم بأنها طلقة واحدة. وقال المالكية: الأصل تحريم وطء الأجنبية، فلا نزيل هذا الأصل المتيقن بنكاح مشكوك في بقائه، فنحكم بأنها ثلاث طلقات.
Contoh lainnya: jika seseorang telah menthalak (menceraikan) istrinya, namun dia ragu apakah sudah talak tiga apa baru satu ? maka jumhur ulama' berpendapat: nikah pada permulaanya adalah hal yang sudah pasti di yakini (sahnya), maka tidak membatalkan pernikahan tersebut thalak yang masih diragukan kepastiannya, maka kita hukumi bahwasanya itu adalah thalak satu. Adapun malikiyyah berpendapat: hukum asal mensetubuhi wanita ajnabi adalah haram maka tidak membatalkan keharamanya keyakinan sahnya nikah yang diragukan, maka kita hukumi bahwasanya dia sudah thalak tiga.

إذا تقرر هذا، فإن هذه القاعدة أُصلت في أصل عظيم، ودليل من أدلة الشريعة، وهو الاستصحاب. والاستصحاب على أنواع:
Jika kita sudah mengetahui masalah tersebut dengan jelas, maka ketahuilah sesunggunya kaidah ini merupakan pondasi dan pokok-pokok syar'iyyah yang agung dan merupakan dalil dari dalil dalil syar'iyyah, dan ini adalah al-istishab (penyandaran dan penyertaan), dan istishab ada beberapa macam:

النوع الأول: استصحاب الإباحة الأصلية، فالأصل في الأفعال أنها مباحة.
Pertama: penyandaran kepada mubah pada hukum asalnya, maka asal dalam perbuatan adalah mubah / boleh.

والنوع الثاني: استصحاب البراءة، فالأصل أن الذمم بريئة، ولا يلحقها شيء من الواجبات حتى يأتي
 دليل من الشارع.
Kedua: penyandaran kepada berlepas diri (tidak ada ikatan) maka hukum asalnya manusia adalah berlepas diri, maka tidak ada kewajiban sesuatau apapun sampai ada dalil yang mewajibkannya dari pembuat syari'at (Allah dan Rasul-Nya).

والنوع الثالث من الاستصحاب: استصحاب نص الشارع حتى يثبت أنه منسوخ، فلا نحكم على الدليل الشرعي بأنه منسوخ حتى يأتي دليل.
Ketiga: penyandaran kepada dalil syar'ii hingga datang penetapan bahwasanya hal tersebut di mansuh (dihapus/dibatalakan), maka kita tidak boleh menghukumi dan mengatakan dalil syar'ii tersebut mansuh (batal) sampai kita bisa membuktikannya dengan dalil.

والنوع الرابع: استصحاب العموم حتى يأتي دليل يخصصه.
Keempat : penyandaran kepada yang umum sampai ada dalil pengkhususannya.

والنوع الخامس: استصحاب الوصف مثل: استصحاب الطهارة الثابتة في الصباح، فنستصحب حكمها في الزمان الثاني.
Kelima: penyandaran pada sifat, misal: menyandarkan suci dari hadast yang pasti pada waktu subuh (setelah sholat shubuh) maka disukai untuk menjadikanya (keadan suci) sebagai dalil pada waktu berikutnya, (kecuali sudah jelas bahwasanya dia telah batal pent.)

والنوع السادس: استصحاب الإجماع في محل النزاع، وذلك بأن يكون هناك مسألة أجمع العلماء عليها، ثم تتغير إحدى الصفات، ومن ثَم يقع الاختلاف.
Keenam: penyandaran kepada kesepakatan para ulama (ijma' ulama) dalam permasalahan yang diperselisihkan, yang demikian itu jika ada suatu permasalahan dan ulama telah bersepakat dalam menentukan hukumya, kemudian berubah suatu sifat (keadaannya) dari sini timbullah perselisihan (ikthilaf)
مثال ذلك: أجمع العلماء على أن من رأى الماء قبل الصلاة بطل تيممه، ثم اختلفوا فيما إذا رآه في أثناء الصلاة، فتغيرت إحدى الصفات. فهل يصح للإنسان أن يقول: إذا رأى الماء قبل الصلاة، بطل تيممه بالإجماع؟ فنستصحب ذلك فيما إذا رآه أثناء الصلاة؟ الجمهور يقولون: لا يصح هذا الاستصحاب. قالوا: لأنه لا تصح دعوى الإجماع في محل النزاع.
Contohnya adalah: para ulama telah sepakat bahwasanya ' barang siapa melihat (mendapati) air sebelum sholat maka batal tayamumnya’, kemudian mereka berselisih: gimana kalau melihat air di tengah-tengah sholat (misal tiba-tiba turun hujan pent), maka berubahlah sifat (keadaanya) maka apakah boleh seseorang mengatakan: jika melihat air sebelum sholat maka batal tayamumnya secara ijma (kesepakatan ulama'), dan kita mengambil / menyandarkan kepada pendapat ini walaupun kita dalam keadaan melaksanakan sholat, maka jumhur berpendapat: tidak sah kita mengambil pendapat tersebut (tidak batal di tenggah sholat) mereka berkata: tidak sah menyatakan pendapat jumhur dalam masalah yang masih di perselisihkan.
والقول الثاني في المسألة: بأنه يصح. قالوا: والمستصحَب ليس هو الإجماع، وإنما المستصحَب مستند الإجماع؛ لأنه -بالاتفاق- لا بد أن يكون للإجماع دليل يستند عليه، قالوا: فنحن حينئذ نستصحب دليل الإجماع ، واستصحاب الدليل محل اتفاق. هذا ما يتعلق بهذه القاعدة، وسنأخذ بعضا من القواعد المندرجة تحت هذه القاعدة في الأبيات الآتية. نعم .
Pendapat kedua dalam masalah ini: bahwasanya boleh mengambil (menyandarkan) pendapat tersebut, mereka berkata: al-mustashab (penyandaran hukum asal) bukan ijma (kesepakatan para ulama) namun al-mustashab adalah sumber dari ijma itu sendiri, karena (telah di sepakati) harus adanya sumber dalil dari ijma tersebut,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar